Jenderal Besar Abdul Haris Nasution |
17 Oktober 1952 menyimpan sejarah tersendiri bagi Negara
kita yang kala itu masih bayi. Kala itu moncong senjata di arahkan ke istana
merdeka. Beberapa perwira termasuk KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Kolonel Abdul
Haris Nasution menuntut presiden sukarno membubarkan Parlemen (DPR)
Peristiwa itu bermula dari ajakan Kolonel Bambang supeno
dari jawa timur untuk menggantikan pimpinan AD. Karena tidak menyukai
kebijakan-kebijakan dari kolonel Nasution selaku KSAD. Hal ini menimbulkan pro
dan Kontra di kalangan tentara. Pada 12 Juli 1952 di adakan pertemuan pimpinan
AD dari pusat dan daerah, kebanyak dari mereka menolak karena di anggap merusak
solidaritas Angkatan Darat. Esoknya kolonel Bambang menulis surat kepada
perdana menteri, menteri pertahanan dan parlemen yang mengungkapkan bahwa dia
sudah kehilangan kepercayaan pada atasannya.
Sementara itu Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS)
mengadakan sidang yang yang membahas mosi yang menuntut perubahan pimpinan dan
organisasi kementerian pertahanan dan Angkatan Perang. Di dalam DPRS menghasilkan
3 mosi dan mosi yang diterima adalah Mosi Manai sophian setelah melalui pungutan
suara, yang isinya antara lain : “mendesak
pemerintah agar membentuk suatu panitia yang terdiri dari anggota-anggota
parlemen dan wakil-wakil pemerintah untuk menhadapi masalah-masalah yang timbul
dalam perdebatan-perdebatan di parlemen mengenai kementerian pertahanan dan angkatan
perang serta menyampaikan usul kongkret mengenai penyelasian kepada pemerintah”.
Dengan diterimanya Mosi Manai sophian, pimpinan Angkatan Darat
merasa bahwa parlemen telah mencampuri urusan pemerintah khususnya masalah
intern AD. Angkatan Darat sudah ditarik ikut polemik ke dalam masalah politik.
Penerimaan Mosi Manai Sophian memicu lahirnya gerakan 17
Oktober 1952 yang di motori oleh TNI AD, yang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
IX sebagai menteri pertahanan dianggap sebagai sebuah kup. Delegasi dari AD
yang menemui presiden kala itu menuntut Presiden Sukarno untuk membubarkan
parlemen, dan membentuk sebuah parlemen baru, karena pimpinan TNI AD menganggap
parlemen telah campur tangan dalam masalah intern AD, namun presiden sukarno
menolak karena dirinya tidak ingin dianggap sebagai Diktaktor.
Dalam peristiwa itu 2 buah tank, 4 kendaraan berlapis baja dan
ribuan masa menyerbu memasuki gerbang istana merdeka membawa spanduk “bubarkan
parlemen”serta satu batalion artileri dengan 4 buah meriam dikerahkan.
Sedikit pembicaraan yang terkupas di istana merdeka antara
presiden sukarno dan kolonel nasution.
“Ini tidak ditujukan
kepada bung karno secara pribadi, melainkan untuk menentang sistem pemerintahan.
Bung karno harus segera membubarkan parlemen” ucap Kol Nasution. Mata bung
karno memerah karena marah. “engkau benar
dalam tuntutanmu, tetapi salah di dalam caranya. Sukarno tidak akan menyerah
menghadapi paksaan. Tidak pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak
kepada satu batalionTentara Nasional Indonesia” Balas Sukarno. “Bila ada
kekacauan di Negara kita, setiap orang berpaling ke pada Tentara” timpal
nasution “Tokoh-tokoh politik membikin peperangan,
tetapi si prajurit yang harus mati. Wajar bila kami turut berbicara tentang apa
yang sedang berlangsung” sambung nasution. “mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada bung karno- YA. Tetapi mengancam
Bapak Republik Indonesia- TIDAK !. JANGAN SEKALI-KALI !” Tegas Bung Karno.
Presiden Sukarno menggap yang di lakukan Kolonel Nasution adalah setengah kup
yang gagal.
Adapun
perwira yang diterima menghadap kepada Presiden sukarno sebanyak 15 perwira antara
lain:
Kolonel A.H
Nasution, Kolonel M simbolon, Letkol kosasih, Letkol mohamad Bakhrum, Letkol Suwondo,
Letkol A. Gani, Letkol Sutoko, Letkol Sukanda, Letkol Suprapto, Letkol Suryo
suyarso, Letkol S parman, Letkol Askari, Letkol Azis Saleh, Letkol Sumantri, kolonel AE. Kawilarang, dan disusul 3 orang
perwira lainnya yaitu Kolonel T.B Simatupang, Kolonel Jati kusumo dan Letkol
Daan yahya. Total 18 perwira
Karena peristiwa itu, Kolonel Nasution diberhentikan dari jabtannya
sebagai KSAD, namun lebih tepatnya mengundurkan diri. Nasution menjabat sebagai
KSAD selama 2,5 tahun dari 1950-1952. Akan tetapi 3 tahun kemudian tepatnya
pada 1955 A.H Nasution di angkat kembali pada jabatan yang sama oleh Presiden
Sukarno atas dasar keutuhan nasional.
Referensi :
- buku Peristiwa 17 Oktober 1952 ketika “moncong“ senjata mengarah ke istana merdeka
- Buku Bung Karno penyambung lidah rakyat
0 komentar:
Post a Comment